Balasan
setimpal – kisah anak yang durhaka kepada orang tua
Wail berhasil lulus
mengikuti ujian SMA. Kedua orangtuanya sangat bergembira, melebihi kegembiraan
Wail. Dia adalah anak tunggal yang menjadi tumpuan hidup keduanya. Cita-cita
Wail adalah dapat melanjutkan kuliah pada fakultas kedokteran di Paris. Orang
tua Wail menyetujui rencananya dan mulai bekerja keras untuk mewujudkan
cita-cita anak tunggalnya.
Wail berangkat ke Paris , menuju Universitas
Sorbonne untuk kuliah di Fakultas Kedokteran. Ayahnya yang berprofesi sebagai
pedagang, setiap bulan selalu mengirim uang untuk memenuhi kebutuhannya. Wail
mengontrak sebuah rumah mungil yang berdekatan dengan kampus milik seorang warga
pribumi (Perancis).
Tidak berapa lama Wail berhasil menjalin hubungan cinta dengan gadis cantik, anak pemilik rumah. Tali cinta keduanya semakin kuat sehingga sang gadis dapat keluar masuk ke rumah kontrakan Wail dengan bebas dan kapan saja.Setanlah yang menjadi pihak ketiganya, yang senantiasa menyulut dan mengobarkan api
Tidak berapa lama Wail berhasil menjalin hubungan cinta dengan gadis cantik, anak pemilik rumah. Tali cinta keduanya semakin kuat sehingga sang gadis dapat keluar masuk ke rumah kontrakan Wail dengan bebas dan kapan saja.Setanlah yang menjadi pihak ketiganya, yang senantiasa menyulut dan mengobarkan api
Pada suatu hari kekasihnya
datang ke kontrakan Wail sambil menangis. Wail merasa iba, lalu memeluk dan
merangkulnya untuk menghiburnya. Setelah berhenti menangis, Wail menanyakan
sebab ia menangis. Kekasihnya menjawab,”Orang tuaku mengusirku karena aku telah
cukup dewasa, maka aku harus mampu memenuhi kebutuhanku sendiri, orang tuaku
sudah tidak bersedia menghidupiku.”
Tanpa basa-basi, Wail
menawarkan pernikahan kepada kekasihnya, iapun tidak menolak sedikit pun karena
tidak mau kehilangan kesempatan emas. Kini keduanya telah menikah dan Wail yang
bertanggung jawab mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Kemudian, Wail meminta
ayahnya agar mengirim uang dalam jumlah yang lebih banyak karena harga
barang-barang melonjak tinggi. Ayahnya segera mengirim uang kepada Wail.
Bahkan, ibunya meminta agar ayahnya tidak pelit mengirim uang untuk kebutuhan anaknya
sehingga ayahnya mengirim seluruh uang yang dimilikinya tanpa menyisakan
sedikit pun. Setelah itu ayahnya bingung, dari mana ia akan mengirim uang untuk
anaknya. Ibunya tanpa pikir panjang langsung menjual perhiasan yang dimilikinya
demi masa depan anaknya. Sementara Wail terus merongrong orang tuanya tanpa
merasakan penderita¬an yang dialami kedua orang tuanya. Yang ia ketahui
hanyalah meminta orang tuanya untuk mengirim uang, lalu dihamburkan bersama
istri tercintanya.
Semakin hari, kondisi
ekonomi orang tua Wail semakin parah, tidak memiliki sumber penghasilan lagi.
Masa belajar Wail pun belum selesai juga. Kini keduanya hanya mampu menunggu
kelulusan Wail dengan penuh kesabaran dengan harapan kelak anaknya dapat
membalas jerih-payah orang tuanya yang selama ini dicurahkan untuk Wail
sehingga akan hidup berbahagia. Sang ibu senantiasa membesarkan hati suaminya
dan memberikan harapan bahwa kelak keduanya akan hidup dalam kecukupan dan
kebahagiaan setelah kepulangan Wail kelak!! Tentu anaknya akan membalas
jerih-payah orang tuanya dengan yang lebih baik.
Akan tetapi, Wail meminta
kiriman uang lagi, bahkan lebih banyak. Orang tuanya sudah tidak mampu mengirim
sepeser pun, kecuali dengan cara menjual rumah satu-satunya. Lalu keduanya
mengirimkan uang untuk Wail, dan menyisakan sedikit untuk mengontrak sebuah
rumah kecil dan sangat sederhana dengan harapan sekembalinya Wail kelak akan
membelikan rumah megah untuk kebahagiaan keduanya!! Anak yang terbiasa hidup
dengan foya-foya selalu akan membelanjakan uang tanpa perhitungan. Kondisi
orang tuanya semakin memprihatinkan, dan sudah tidak mampu lagi mengirim uang.
Kemudian, orang tua Wail menulis sepucuk surat yang berisi bahwa keduanya sudah
tidak memiliki kekayaan apa pun, bahkan rumah dan perhiasan milik ibunya telah
dijual sehingga Wail diminta supaya hidup mandiri dan memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri karena keduanya tidak dapat diandalkan lagi.
Wail marah, tidak
mempercayai isi surat
yang dikirim ayah¬nya, dia berprasangka buruk kepada kedua orang tuanya. Dalam
kondisi seperti ini setan menjadi cerdik, merasukkan was-was ke dalam diri
Wail, yakni orang tuanya tega menghancurkan masa depan anak tunggalnya. Hati
Wail menjadi keras dan membatu, dia memutuskan hubungan dengan kedua orang
tuanya karena sibuk bekerja untuk membiayai kuliahnya. Setelah berhasil
menye¬lesaikan kuliahnya, ia tetap bekerja agar dapat mengumpulkan sejumlah
uang sehingga ketika pulang ke negaranya dapat mem¬buka praktek. Ia
bersungguh-sungguh untuk mewujudkan ke¬inginannya. Lalu memutuskan untuk pulang
ke negaranya beserta istrinya tanpa memberitahu seorang pun, termasuk kedua
orang tuanya!!
Wail hidup bersama istrinya
yang berkebangsaan Perancis, dan menjadi seorang dokter yang kaya. Walaupun
demikian, tidak mempunyai keinginan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
Hatinya telah keras membatu, penuh rasa dendam terhadap kedua orang tuanya yang
sejatinya merekalah yang menjadikan Wail hidup bahagia dan berkecukupan. Allah
menguji Wail dengan perlahan-lahan dan tidak pernah akan lalai. Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak pernah akan lupa terhadap hamba-Nya. Dengan izin Allah ada
seorang lelaki yang datang ke klinik Wail untuk periksa. Lelaki itu adalah
teman dekat ayah Wail, yang tidak di¬kenal oleh Wail. Begitu pasien ini keluar
dari tempat praktek Wail, dia langsung menuju rumah ayah Wail untuk memberitahu
bahwa anaknya telah pulang dari Perancis dan membuka praktek. Ayah Wail
terperanjat saat mendengar kabar tersebut, bahkan sempat tidak mempercayainya.
Lalu kawan dekatnya bersumpah bahwa apa yang dikatakannya adalah benar, dia
berkata, “Kalau kamu tidak percaya, mari sekarang aku antar ke tempat
praktek¬nya!”
Ayah Wail pergi bersama
kawannya dengan penuh ke¬heranan, tidak habis pikir. Begitu kedua mata ayahnya
menatap papan praktek, dia membaca nama anaknya terpampang di papan tersebut
dan mencium bau jantung hatinya. Kemudian, kedua matanya mengalirkan air mata
kebahagiaan dan keharuan. Keduanya menaiki tangga sementara ayah Wail masih
saja tidak bisa mempercayai apa yang dilihat matanya. Sekarang, ayah Wail dapat
bertemu dengan anak tunggalnya setelah sekian lama meng¬hilang, ia ingin
memeluknya untuk memadamkan api kerinduan. Namun, begitu sang ayah mendekati
anaknya, anak yang durhaka itu sudah berteriak, “Di situ saja, jangan mendekatiku
agar istriku yang berkebangsaan Perancis tidak menghinaku sehingga jatuh harga
diriku!!” Ayah Wail diam terpaku. Wail yang durhaka melanjutkan bicara,
“Dengarkan, aku akan memberimu bantuan sejumlah uang, tapi ingat, segera pergi
dari sini dan aku tidak ingin melihatmu lagi!!”
Di sinilah ayah Wail sangat
kecewa dengan harapannya selama ini, musnahlah semua angan-angannya. Tiba-tiba
ia ingin mengatakan satu kalimat untuk Wail, yang jika gunung yang kokoh
mendengarnya tentu akan roboh seketika dan beterbangan debunya. Ayahnya
bersumpah, “Semoga Allah dan seluruh ma¬nusia melaknatmu dan murka kepadamu
sampai datangnya Hari Kiamat, serta sengsara selama-lamanya!” Kemudian,
meludahi wajah Wail sehingga dengan itu berhenti marahnya. Kemudian, sang ayah
melanjutkan kata-katanya, “Semoga Allah, Tuhan semesta alam memberi kami
kecukupan tanpa bantuanmu.”
Ayah Wail pulang ke rumah,
lalu menemui istrinya diliputi rasa sedih dan kecewa yang merobek-robek
hatinya. Kemudian, menceritakan kabar duka itu kepada istrinya. Ia pun berduka
dan menangis lama. Segala sesuatu pasti ada akhirnya, terutama setelah ayah
Wail menyumpahi anaknya yang keluar dari relung hati yang penuh duka.
Akan tetapi, anak yang
durhaka itu tidak terpengaruh sedikit pun dengan sumpah orang tuanya sebab
hatinya telah keras membatu, hitam pekat. Bahkan, lebih pekat dari gelapnya
malam.
Pada hari libur, Wail dan
istrinya pergi ke luar kota
untuk jalan-jalan menghilangkan kelelahan setelah sekian lama bekerja. Namun,
di salah satu tikungan jalan, mobil yang dikendarainya tergelincir dan jatuh di
kedalaman sungai. Wail dan istrinya mati seketika. Berita musibah tersebut di
dengar kedua orang tuanya. Lalu kedua orang tuanya menjadi yakin bahwasanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa orang yang teraniaya. Nah, bagaimana
kemu¬dian nasib kedua orang tuanya? Merekalah yang mendapatkan harta warisan
berikut tempat praktek anaknya.
Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala Maha Melihat. Dia memberi kebebasan orang zalim untuk
berbuat semaunya sehingga jika Allah telah berkenan mencabut dan menyiksanya,
tidak ada sedikit pun yang terlewatkan. Dalam kisah ini terdapat pelajaran yang
dapat dipetik untuk segenap anak dan para orang tua. Anak-anak wajib berbakti
kepada orang tua dan menjaga perasa¬annya. Adapun orang tua berkewajiban
mendidik anaknya dengan pendidikan yang islami dan benar. Orang tua harus
menjauhkannya dari tipu daya dunia serta perangkap-perangkap setan, terutama
sekarang ini, di era globalisasi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang Ibu-bapaknya. Jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya
kepada-Kulah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. ” (Al-Ankabut:
Sumber: Kama Tadinu Tudanu
Sumber: Kama Tadinu Tudanu